03 Juni, 2009

MANAJEMEN KEPARIWISATAAN BALI SEBAGAI DESTINASI PULAU (ISLAND TOURISM DESTINATION)

MANAJEMEN KEPARIWISATAAN BALI SEBAGAI DESTINASI WISATA PULAU (ISLAND TOURISM DESTINATION)




1.1. Latar Belakang

Pengembangan Pariwisata di Daerah Bali sejak awal adalah jenis “Pariwisata Budaya” yang dijiwai oleh Agama Hindu. Ketentuan ini tertuang pada Peraturan Daerah Tingkat I Bali Nomor 3 Tahun 1974 yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya. Pada Bab I , Pasal 1 dijelaskan bahwa Pariwisata Budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan Daerah Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu yang merupakan bagian dari Kebudayaan Nasional sebagai potensi dasar yang dominan, yang didalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik antara Pariwisata dan Kebudayaan sehingga keduanya meningkat secara serasi, selaras dan seimbang. “Sebagai penunjang pariwisata budaya di daerah Bali terdapat sepuluh komponen budaya diantaranya kerajinan, tradisi, sejarah daerah, arsitektur, makanan lokal, seni dan musik, cara hidup, agama, bahasa daerah dan pakaian lokal.” (Antara, 2003). Lebih lanjut hasil survey menunjukkan bahwa diantara komponen budaya Bali yang paling menarik wisatawan adalah tradisi dan cara hidup orang Bali.
Dalam praktiknya kegiatan kepariwisataan menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat dengan berbagai dampak yang ditimbulkannmya. Dampak yang paling menonjol adalah : (1) dampak terhadap sosial ekonomi, (2) dampak terhadap sosial budaya dan (3) dampak terhadap lingkungan (Pitana dan Gayatri 2005). Dampak Pariwisata terhadap sosial ekonomi masyarakat lokal menurut Cohen (dalam Pitana, 2005) meliputi penerimaan devisa, pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, dampak terhadap harga-harga, distribusi manfaat/keuntungan, kepemilikan dan kontrol, pembangunan pada umumnya dan pendapatan pemerintah. Sedangkan dampak pariwisata terhadap sosial budaya tidaklah begitu jelas karena banyak faktor yang ikut mengubah sosial budaya itu sendiri seperti pendidikan, media masa, transportasi, komunikasi maupun sektor-sektor pembangunan lainnya serta dinamika internal masyarakat. Jadi perubahan sosial budaya tidak semata-mata dikarenakan oleh pariwisata karena pariwisata terkait dengan sektor-sektor lain atau sudah berpengaruh jauh sebelum pariwisata berkembang. Douglas and Douglas (Dalam Pitana, 2005). Dampak perkembangan pariwisata terhadap lingkungan adalah adanya alih fungsi lahan produktif, pencemaran air, polusi udara, rusaknya terumbu karang dan kemacetan lalu lintas.
Pariwisata terus berkembang bahkan melampaui perkembangan ekonomi, hingga pakar-pakar pariwisata, akademisi dan praktisi pariwisata mencarai bentuk pengembangan pariwisata alternatif (alternative tourism). Istilah Pariwisata Alternatif mempunyai dua pengertian yaitu : (1) sebagai salah satu bentuk kepariwisataan yang timbul sebagai reaksi terhadap dampak-dampak negatif dari pengembangan dan perkembangan pariwisata konvensional. (2) sebagai bentuk kepariwisataan yang berbeda (yang merupakan alternatif) dari pariwisata konvensional untuk menunjang Namun sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang lebih dikenal dengan sebutan Otonomi Daerah yang mana hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dari sinilah permasalahan pengembangan pariwisata Bali mulai muncul karena penafsiran terhadap Undang-Undang yang dipakai sebagai acuan masih diartikan sempit dan rancu. “Salah satu masalah Bali yang amat krusial adalah manajemen destinasi pariwisastanya. Krusial bahkan konyol karena Bali yang begitu kuat menyuarakan Pariwisata berbasis budaya (Hindu ) dibangun disebuah Provinsi seluas 5.632,86 km2 dalam satu kesatuan ekosistem kenyataannya di-manage oleh 10 manajemen oleh 10 “manager” di sembilan Kabupaten/Kota, satu di Provinsi, dengan koordinasi amat lembek dan ego sektoral membaja. Beda dengan negeri serumpun Malaysia, Thailand, Singapura- satu Negara satu manajemen destinasi dibawah MTB, TTB, STB.” ( Ashrama, 2008 ).
Guna mengejar ketinggalan kini Pemerintah Kabupaten di Bali berlomba-lomba untuk mendatangkan investor dengan harapan agar Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) khususnya dari sektor pariwisata bisa meningkat. Hal ini dapat dimaklumi karena dengan berkurangnya pendapatan dari sektor pariwisata secara umum akibat kejadian luar biasa seperti Bom Bali 12 Oktober 2002, Bom Jimbaran pada 1Okrtober 2005 dan Flu Burung mengakibatkan turunnya jumlah kunjungan wisatawan ke Bali. Bahkan Pemerintah Kabupaten Penyumbang PAD Pariwisata yaitu Badung, Denpasar dan Gianyar mengurangi porsinya dari 30% menjadi 22,5% dan kepada Provinsi sebelumnya 7,5% dan kini ditiadakan. Disisi lain kesiapan Pemerintah Kabupaten atas pembangunan pasilitas Pariwisata di Daerah sering menemui kendala akibat dari perencanaan pembangunan yang tidak holistik dan penerapan hukum (low emforcement) yang sangat lemah.
Kalau kita berbicara Bali sebagai Destinasi Wisata Pulau yang merupakan satu kesatuan maka manajemen Kepariwisataan Bali yang selama ini terkesan trial and eror dan tumpang-tindih dalam hal pengambilan keputusan hendaknya direvitalisasi secara menyeluruh baik dari segi perencanaan, pembangunan dan pelaksanaannya. Tentu tugas ini sungguh berat karena kebiasaan-kebiasaan diatas telah diwariskan dari pejabat satu ke pejabat berikutnya. Sesungguhnya tidak ada kata terlambat demi sebuah perbaikan pengelolaan yang transparan, untuk itu Pemerintah mesti lebih banyak melibatkan akademisi, praktisi dan para ahli di bidang Pariwisata guna bersama-sama menciptakan formulasi baru yang menghasilkan satu “Blue Print” Manajemen Kepariwisataan Bali Sebagai Destinasi Wisata Pulau ( Island Tourism Destination ) Menuju Pariwisata Berkelanjutan baik jangka pendek, jangka menegah dan jangka panjang. Inilah kemudian akan menjadi pegangan bagi pemerintah, swasta dan masyarakat pengelola destinasi dengan perencanaan yang holistik (holistic planning), diikuti penegakan hukum (low enforcement) yang kuat.




1.2. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan paper ini adalah: (1) sebagai salah satu tugas karyasiswa Program Studi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana mata kuliah Manajemen Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan oleh dosen Prof. Dr. Nyoman Erawan,SE (2) penulisan paper ini bertujuan untuk memberikan sumbangan pemikiran penulis berdasarkan studi eksplorasi di lapangan ditambah beberapa teori yang relevan diharapkan berguna bagi Pengembangan Manajemen Kepariwasataan Bali Sebagai Destinasi Pulau ( Island Tourism Destination ) Menuju Pariwisata Berkelanjutan yang bermakna ganda yaitu Pariwisata Bali hasilnya tidak saja dinikmati saat ini tapi bisa diwariskan pada generasi berikutnya dengan tidak merusak lingkungan, budaya dan adat istiadat yang adi luhung.



BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Studi Pustaka

Pariwisata di berbagai belahan Dunia saat ini menjadi tulang punggung pendapatan Nasional termasuk Indonesia karena kegiatan industri tanpa cerobong asap ini berdampak terhadap ekonomi secara makro. Begitu pula pulau Bali yang tergolong kecil masih memacu perkembangan pariwisatanya secara terus menerus bahkan lupa terhadap daya dukung lingkungan fisik dan daya tampung (carrying capacity) akibat masih banyaknya pemegang kebijakan tergiur oleh pajak yang didapat dari pasilitas pariwisata yang akan dibangun.
“Pembangunan Pariwisata harus didasarkan pada kreteria keberlanjutan yang artinya bahwa pembangunan dapat didukung secara ekologis dalam jangka panjang sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat” ( Piagam Pariwisata Berkelanjutan, 1995 ).
Roh piagam diatas mengedintifikasikan sebuah pembangunan berkelanjutan yang bertitik tolak dari upaya keterpaduan pengelolaan untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan.
Lebih lanjut WTO (World Tourism Organization) mendifinisikan pariwisata berkelanjutan: “Sustainable tourism development meets the needs of the present tourists and host regions while protecting and enhancing the opportunity for the future. It is envisaged as leading to management of all resources in such a way that economic, social and aesthetic needs can be fulfilled, while maintaining cultural integrity, essential ecological process, biological diversity and life support systems”. Maksudnya pariwisata berkelanjutan mempertemukan kebutuhan wisatawan saat ini dan masyarakat penerima sekaligus mempertahankan dan meningkatkan peluang untuk masa yang akan datang. Hal ini mempertimbangkan seluruh sumber ekonomi, sosial dan nilai estitika dapat terpenuhi, sembari mempertahankan integrirtas kebudayaan, proses ekologis yang mendasar, keragaman biologis dan sistem pendukung kehidupan.
Keharmonisan pemerintah, swasta dan masyarakat sebagai pilar pariwisata hendaknya tetap terpelihara sehingga pembangunan itu sendiri tidak terpokus pada isu lingkungan saja tetapi mencakup isu demokrasi, hak asasi manusia dan isu lain yang lebih luas. Pembangunan Pariwisata yang berkelanjutan dapat dikenali melalui prinsip-prinsipnya seperti yang tertuang dalam Fasific Ministers Conference On Tourism and Enviroment di Maldives tahun 1977 yang meliputi kesejahteraan lokal, penciptaan lapangan kerja, konservasi sumber daya alam, pemeliharaan dan peningkatan kualitas hidup, dan equality inter dan antar generasi dalam distribusi pekerjaan. Dalam perkembangannya prinsip-prinsip diatas telah dielaborasi menjadi sepuluh bagian yang tidak terpisahkan antara lain :
(1) partisipasi.; pengelolaan dan pengembangan daya tarik wisata melibatkan partisipasi masyarakat setempat secara langsung dalam tiga hal yaitu sebagai pengawas pembangunan pariwisata, ikut terlibat dalam menentukan visi dan mengimplementasikan strategi yang telah disusun sebelumnya serta mengidentifikasi sumber-sumber daya yang akan dipelihara dan dikembangkan; (2) keikutsertaan para pelaku (steakholder involvement); para pelaku yang ikut serta dalam pembangunan pariwisata meliputi kelompok dan institusi LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ), kelompok sukarelawan, pemerintah daerah, asosiasi swasta, asosiasi bisnis dan pihak-pihak lain yang berpengaruh dan berkepentingan serta yang akan menerima dampak dari kegiatan pariwisata; (3) kepemilikan lokal; fasilitas pariwisata seperti hotel, restoran, bar dan toko cenderamata yang dimiliki oleh orang lokal menawarkan lapangan pekerjaan yang berkualitas bagi masyarakat setempat. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi penduduk setempat serta kemudahan akses untuk para pelaku bisnis/wirausahawan setempat benar-benar dibutuhkan dalam mewujudkan kepemilikan lokal. Lebih lanjut keterkaitan ( linkages ) antara pelaku-pelaku bisnis dengan masyarakat lokal harus diupayakan dalam menunjang kepemilikan lokal tersebut; (4) penggunaan sumber daya yang berkelanjutan; keterkaitan lokal dalam menggunakan sumber daya yang berkelanjutan mulai dari tahap perencanaan, pembangunan dan pelaksanaan sehingga pembagian keuntungan yang adil dapat diwujudkan. Pembangunan pariwisata harus dapat menggunakan sumber daya dengan berkelanjutan yang artinya kegiatan-kegiatannya harus menghindari penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui ( irreversible ) secara berlebihan; (5) mewadahi tujuan-tujuan masyarakat. Bagaimana menciptakan kondisi harmonis untuk mewadahi tujuan-tujuan masyarakat dalam kegiatan pariwisata antara wisatawan, tempat dan masyarakat lokal misalnya kerja sama dalam wisata budaya ( Cultural Tourism Patnership ) dari tahap perencanaan, manajemen sampai pada pemasaran; (6) daya dukung; daya dukung atau kapasitas lahan yang harus dipertimbangkan meliputi daya dukung fisik, alami, sosial dan budaya. Rencana dan pengoperasiannya harus dievaluasi secara reguler agar fasilitas wisata mencerminkan batas penggunaan yang dapat ditoleransi (limit of acceptable use). (7) monitor dan evaluasi; kegiatan monitor dan evaluasi pembangunan pariwisata berkelanjutan mencakup penyusunan pedoman, evaluasi dampak kegiatan wisata serta pengembangan indikator-indikator dan batasan-batasan untuk mengukur dampak pariwisata. Pedoman atau alat-alat bantu yang dikembangkan tersebut harus meliputi skala nasional, regional dan lokal; (8) akuntabilitas; perencanaan pariwisata harus memberi perhatian yang benar pada kesempatan mendapatkan pekerjaan, pendapatan dan perbaikan kesehatan masyarakat lokal yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan pembangunan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam seperti tanah, air dan udara harus menjamin akuntabilitas serta memastikan bahwa sumber-sumber yang ada tidak dieksploitasi secara berlebihan; (9) pelatihan; pembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan pelaksanaan program-program pendidikan dan pelatihan untuk membekali pengetahuan masyarakat dan meningkatkan ketrampilan bisnis , vocational dan professional. Pelatihan sebaiknya meliputi topik tentang pariwisata berkelanjutan, manajemen perhotelan, serta topik-topik lain yang relevan; (10) promosi; promosi dalam hal ini mempunyai arti bagaimana menggunakan lahan yang mendukung karakter lansekap, sense of place dan identitas masyarakat setempat guna terwujudnya pengalaman wisata yang berkualitas dan promosi produk untuk memberikan kepuasan bagi wisatawan. (http://www.p2par.itb.ac.id)


BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN


3.1. ANALISIS
Manajemen kepariwisataan Bali sebagai destinasi wisata pulau (Island Tourism Destination) menuju pariwisata berkelanjutan perencanaannya perlu dianalisis lebih seksama. Kajian ini terbatas pada studi eksplorasi penulis dan pengalaman empirik dilapangan artinya manajemen kepariwisataan Bali telah ada dan dilaksanakan sebelumnya namun implementasinya di lapangan belum sesuai harapan. Penulis membatasi dua variabel yang berpengaruh terhadap manajemen kepariwisataan di daerah Bali antara lain : (1) pengaruh perencanaan yang holistik (holistic planning) terhadap manajemen kepariwisataan di daerah Bali, (2) pengaruh penegakan hukum (low enforcement) terhadap manajemen kepariwisataan di daerah Bali.

3.1.1. Perencanaan yang holistik (holistic planning)
Sujarto (dalam Paturusi, 2008 ) memberikan pengertian perencanaan secara umum adalah suatu usaha untuk memikirkan masa depan (cita-cita) secara rasional dan sistematik dengan cara memanfaatkan sumber daya yang ada serta memperhatikan kendala (constrain) dan keterbatasan (limitatation) seefesien dan seefektif mungkin.. Perencanaan manajemen destinasi tidaklah berbeda dengan perencanaan umum lainnya, dan yang dimaksud perencanaan pariwisata adalah suatu proses pembuatan keputusan yang berkaitan dengan masa depan suatu destinasi atau atraksi wisata. Ini merupakan suatu proses dinamis dalam penentuan tujuan yang secara bersistem mempertimbangkan berbagai alternatif tindakan untuk mencapai tujuan serta implementasinya terhadap alternatif terpilih dan evaluasinya. Selanjutnya Paturusi membagi perencanaan ke dalam tiga bagian berdasarkan lingkup substansinya yaitu (1) perencanaan sosial (social planning) adalah suatu perencanaan pembangunan yang terpokus pada peningkatan aspek kehidupan sosial masyarakat; (2) perencanaan ekonomi (economic planning) adalah perencanaan pembangunan yang terpokus pada kegiatan usaha dan produksi; (3) perencanaan fisik (physical planning) adalah usaha perencanaan pembangunan yang berorientasi pada usaha penataan ruang dalam hal ini pengadaan suatu tempat kegiatan usaha. Perencanaan fisik adalah perwujudan nyata dari perencanaan sosial dan perencanaan ekonomi. Sebuah perencanaan pariwisata yang baik memiliki ciri-ciri seperti logis (logic) bisa dimengerti dan sesuai dengan kenyataan yang berlaku, luwes (flexible) tanggap atas dinamika perkembangan, obyektif (objective) tujuan dan sasaran yang dilandasi pertimbangan yang bersistem dan ilmiah, realistis (realistic) dapat dilaksanakan, memiliki rentang rencana jangka pendek, menengah dan panjang.
Sedangkan (Wahab, 2003 ) mengupas rumusan rencana menyeluruh untuk pengembangan pariwisata di suatu daerah kedalam : (a) penetapan pertumbuhan yang wajar oleh pemerintah, apakah untuk memacu pariwisata massa atau berjenjang mengarah pada tourism quality; (b) penetapan pengelola apakah dari pemerintah atau swasta dan penetapan modal dalam negeri atau modal asing; (c) diadakannya prioritas rencana kebutuhan-kebutuhan pengembangan pariwisata dan sinkronisasi terhadap sektor-sektor produksi lainnya; (d) perencanaan pariwisata dirancang sebagai suatu sektor pertumbuhan ekonomi hal ini penting untuk merangsang mereka yang ingin menanamkan modalnya di sector ini; (e) pemerintah hendaknya menyikapi secara pleksibel dengan harapan mampu mengimbangi perubahan yang sedang terjadi seperti tekanan-tekanan politik dan sosial; (f) peran pariwisata untuk pengembangan ekonomi harus jelas dan bila perlu sasarannya ditunjukkan melalui angka-angka diantara sektor-sektor lain; (g) untuk merumuskan perencanaan pariwisata diperlukan prasyarat pokok berupa penelitian ilmiah tapi sering terkendala dana bahkan ada yang berpendapat bahwa dulu pariwisata juga berkembang tanpa perencanaan; (h) skala prioritas pengembangan zona-zona sangat penting karena pemerintah tidak mungkin mengembangkan zona pariwisata sekaligus; (i) perlu kehati-hatian dalam rencana pengembangan wisata apakah promosi didahulukan atau penciptaan fasilitas; (j) pentahapan perencanaan adalah suatu keharusan untuk kemudian bisa berkoordinasi dengan overseas agent/tour operator sebagai sumber wisatawan disisi lain pemerintah berkoordinasi dengan asosiasi-asosiai terkait sebagai penerima wisatawan.

3.1.2. Penerapan Hukum (Low Emforcement)
Disamping lemahnya perencanaan untuk mengelola sebuah destinasi tidak bisa dipungkiri bahwa penerapan hukum dalam hal ini Undang-Undang Kepariwisataan dan Peraturan Daerah yang mengatur tentang kepariwisataan belum sepenuhnya diterapkan. Untuk itulah beberapa produk hukum tentang kepariwisataan perlu dianalisis dan dievaluasi keberadaannya. Sebagai contoh Pemerintah Pusat memberikan keleluasaan kepada Pemerintah Provinsi dalam hal pengelolaan pariwisata di Daerah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1979 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah Dalam Bidang Kepariwisataan Kepada Daerah Tingkat I. Adapun 12 urusan yang diserahkan sesuai Bab II Pasal 3 meliputi : (a) urusan obyek wisata sepanjang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atau yang akan berlaku tidak menjadi urusan Pemerintah Pusat; (b) urusan Pramuwisata; (c) urusan Losmen; (d) urusan Penginapan Remaja; (e) urusan Pondok Wisata; (f) urusan Perkemahan; (g) urusan Rumah Makan; (h) urusan Bar; (i) urusan Mandala Wisata; (j) urusan Usaha Kawasan Pariwisata; (k) urusan Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum; (l) urusan Promosi Pariwisata Daerah.
Penyerahan urusan-urusan tersebut diatas pada dasarnya bertujuan baik dari segi pemerataan dan percepatan pertumbuhan pariwisata di daerah. Namun implementasinya di lapangan sangat berbeda, apalagi aroma otonomi daerah menjadi isu sentral dalam pengelolaan sebuah destinasi. Daerah melahirkan raja-raja kecil sebagai pemimpin yang berpotensi mismanagemen dalam pengelolaan Bali sebagai destinasi pulau. Ego sektoral akan semakin terasa dalam pengambilan sebuah keputusan dan penegakan hukum akan menjadi sangat lemah karena menggunakan faktor pembenar seperti sekumpulan masyarakat lokal diseting untuk melawan hukum demi kesejahteraan masyarakat setempat.

3.2. Pembahasan
Manajemen kepariwisataan di Bali belakangan ini banyak diperdebatkan baik oleh kalangan praktisi pariwisata, pelaku maupun akademisi. Tujuannya adalah untuk mendapatkan sebuah persepsi tentang pengelolaan pariwisata Bali sebagai destinasi pulau yang selama ini terkesan tumpang-tindih dan berjalan sendiri-sendiri. Cara-cara pengelolaan pariwisata Bali yang bergaya kerajaan harus ditinggalkan karena sesungguhnya pariwisata bertumpu pada jasa sebagai produk yang ditawarkan oleh karenanya pariwisata di Bali menekankan pada “jasa pelayanan” sebagai salah satu trend menuju keberlanjutan. Bila pemegang kebijakan belum memahami arti “pelayangan” yang sesungguhnya di dunia pariwisata niscaya manajemen kepariwisataan akan berhasil.
Pengelolaan yang baik adalah awal dari sebuah manajemen tak terkecuali manajemen kepariwisataan Bali. Pemerintah Provinsi Bali diharapkan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi kekacauan dalam mengelola destinasi wisata yang berbentuk pulau ini. Adapun langkah-langkah dimaksud adalah : (1) Mendata semua produk hukum Pariwisata sebagai payung hukum yang harus ditaati bersama dan dijalankan oleh Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota se Bali dengan segala konsekwensinya mengingat pemimpin-pemimpin di Bali berasal dari partai politik yang mempunyai latar belakang dan disiplin ilmu berbeda; (2) Mengkaji objek daya tarik wisata unggulan di daerah yang lahir melalui sebuah proses perencanaan yang benar sampai pada tahap pemasaran; (3) Memberi kepercayaan kepada “steak holder “ Pariwisata Bali yang didalamnya terdiri dari komponen masyarakat, asosiasi-asosiasi pariwisata Bali, Pemerintah dan akademisi yang tergabung dalam Bali Tourism Board (BTB) versi baru. Adapun Bali Tourism Board Provinsi terdiri dari : Gubernur (Disparda), Legeslatif yang membidangi Pariwisata, Ketua-Ketua Asosiasi Pariwisata seperti ASITA, PHRI, PUTRI, HPI, GAHAWISRI, dan PAWIBA. Sedangkan Bali Tourism Board Kabupaten/Kota dikomandoi oleh Bupati/Wali Kota (Disparda Kabupaten/Kota) dan anggotanya adalah Cabang-Cabang Asosiasi Pariwisata Kabupaten/Kota, Legeslatif yang membidangi Pariwisata, dan akademisi/ahli di bidang kepariwisataan.


BAB IV
SIMPULAN

Bali sampai saat ini masih konsisten dengan Pariwisata Budaya yang bernafaskan Agama Hindu. Sesuai hasil penelitian bahwa komponen Budaya Bali yang paling menarik bagi wisatawan adalah tradisi dan cara hidup orang Bali.
Pariwisata Bali berdampak pada sosial perekonomian, sosial budaya dan dampak terhadap lingkungan. Apabila pengelolannya kurang professional maka pertumbuhan Pariwisata di Bali tidak memiliki arah yang jelas. Salah satu contoh managemen kepariwisataan Bali sebagai destinasi wisata pulau tidak terpolakan dengan baik sehingga terjadi tumpang-tindih dan ego sektoral karena implementasinya diperkuat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Bali adalah pulau kecil artinya manajemen kepariwisataan Bali sebagai destinasi pulau harus jelas mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya melibatkan seluruh komponen Pariwisata Bali yang tergabung dalam Bali Tourism Board (BTB) versi baru maksudnya agar perencanaan pengelolaan kepariwisataan di Bali benar-benar melalui satu pintu dan memiliki otoritas lebih dari Bali Tourism Board yang telah ada. Menciptakan suatu atraksi wisata atau objek wisata di Daerah Bali harus melalui sebuah kajian bersama yang tertuang dalam “blue print” perencanaan yang holistik baik jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Diatas segalanya adalah penegakan hukum (low emporcement) tidak bisa ditawar keberadaannya oleh pemegang kebijakan.
Kesan manajemen kepariwisataan Bali selama ini terkotak-kotak oleh sekat teritorial daerah bahkan sering memakai topeng masyarakat lokal untuk memuluskan rencana pembangunan sebuah pasilitas pariwisata di luar kawasan yang telah ditentukan. Sedangkan pembangunan pariwisata sebagai harapan kita bersama hendaknya tumbuh dan berkembang sampai pada generasi yang akan datang (sustainable tourism) dengan memperhatikan norma-norma hukum, agama, budaya dan lingkungan. Dengan konsep saling ketergantungan dan saling menguntungkan akan melahirkan formulasi baru sebuah manajemen kepariwisataan Bali sebagai destinasi wisata pulau menuju pariwisata berkelanjutan. Semoga!
DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I Wayan. Pariwisata Budaya Berkelanjutan Refleksi dan Harapan di
Tengah Perkembangan Global, Program Studi Magister (S2) Kajian Pariwisata Program Pascasarjana Universitas udayana 2003.
Ashrama, Beratha. Manajemen Destinasi, Masalah Krusial di Bali Artikel Bali Post
Kamis 7 Agustus 2008.
Bater, J.et.al. Planning for local lavel: Sustainable Tourism Development , Canadian
Universities Consorsium: Urban Environment Management Project Training and
Technology Transfer Program, Canadian International Developmeny Agency
(CIDA) 2001 diambil dari internet 8 Maret 2006 http://www.p2par.itb.ac.id
Paturusi, Syamsul Alam. Perencanaan Kawasan Pariwisata, Udayana University
Press, 2008
Pitana, I Gde dan Gayatri Putu G. Sosiologi Pariwisata. Kajian sosiologis terhadap
struktur, sistem dan dampak-dampak pariwisata, Andi Yogyakarta. 2005
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1979 tentang Penyerahan Sebagian Urusan
Pemerintah Dalam Bidang Kepariwisataan Kepada Daerah Tingkat I.
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya
Suwantoro, Gamal. Dasar-Dasar Pariwisata , Andi Yogyakarta 1997
Wahab, Salah. Tourism Management penerjemah Frans Gromang. Pradnya Paramita,
2003.
World Tourism Organization, Definisi Pariwisata Berkelanjutan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar